Agama sering dijadikan alasan untuk bernegosiasi, di jadikan lipes service supaya sisi rasional bergeser ke sisi emosional. Dengan sentimen agama yang di sentuhnya, mereka berharap pada sesama yang kebetulan beda nasib.
Dijumpai sekeliling kita di Cilacap ini, membeli atau belanja produk ke teman dan atau saudara se iman meminta discount besar, di bayar tempo dan tidak sedikit minta di cicil. Di sisi lain belanja di supermarket besar atau di Alfamart di Indomaret tidak segan membayar tunai.
Kita tidak segan - segan menuntut kepada saudara dan tetangga kita yang menjual sayuran dorong atau "digendong" dengan permintaan yang membuat bisnisnya kadang di relakan untuk tidak untung, padahal secara ekonomi kita lebih mampu dibanding mereka.
Koperasi yang katanya sebagai soko guru bangsa ini sering dimanfaatkan ketika tanggung bulan gajian dan tidak punya uang yang pada akhirnya banyak koperasi yang tidak berkembang bahkan gulung tikar.
Contoh lain dari perilaku diskriminatif kita ketika mau makan di Mc Donald atau makanan cepat saji sejenisnya, antri bayar dulu baru makan, harus keluar uang dulu baru dilayani mendapatkan produk yang kita inginkan, kita sering melihat hal itu ketika perantau masyarakat Cilacap dengan 'bangga' meng upload di akun facebook dan jejaring media sosial mereka.
Sementara ketika makan diwarung padang atau warteg misalnya, makan puas dulu baru bayar.
Pertanyaannya, kenapa semua itu mesti terjadi di Cilacap? Yang pasti, tak mungkin terjadi sesuatu akibat tanpa penyebabnya. Semua pasti ada sebab musababnya dan apa sebab semua itu terjadi?. (foto: kompasiana)
Penulis:
Agus Adi Priyanto
Journalist ReOnkPost.com
Sekianlah artikel Ironisnya Konsumen Kita kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Ironisnya Konsumen Kita