Lagu "Genjer-Genjer" sering diidentifikasi dengan kekejaman Partai Komunis Indonesia lantaran terekam pada salah satu adegan film Pengkhianatan G30S/PKI. Sepenggal adegan itu menjadi lekat di benak masyarakat karena penguasa Orde Baru mewajibkan masyarakat menonton film gubahan Arifin C Noer tersebut tiap malam 30 September, selama puluhan tahun.
Pada film Pengkhianatan G30S/PKI, ditampilkan para sukarelawan Gerwani dan Pemuda Rakyat, berafiliasi dengan PKI, menarikan “Tandek Majeng” teriring lagu “Genjer-Genjer’ sebagai ritual upacara pembantaian para jendral di Lubang Buaya, Jakarta Timur pada 1 Oktober 1965.
“Propaganda Orde Baru yang dilancarkan segera sesudah peristiwa G30S 1965 mengatakan orang-orang Gerwani dan Pemuda Rakyat melakukan pesta seksual di bawah iringan lagu ‘Genjer-Genjer’ dan tari ‘Tandek Majeng,” tulis Hersri Setiawan pada Memoar Pulau Buru.
Kaitan lagu “Genjer-Genjer” dan pambantaian jendral pun semakin mengemuka kala pers terutama corong militer memberitakan sepihak peristiwa 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya. “Pada pesta yang berlangsung pagi buta 1 Oktober 1965 itulah, pers Orba memberitakan Jendral A. Yani dkk korban pertama peristiwa telah dianiyaya dan disiksa dengan cara keji, tubuh dipicis disayat dengan silet, mata dicungkil, dan alat kelamin dipotong-potong,” tulis Hersri.
Tuduhan tersebut, menurut Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, dalam Menguak Misteri Sejarah merupakan bentuk hate crime atau kejahatan berbasis kebencian. “Contoh dari hate crime itu adalah kasus pelarangan lagu Genjer-Genjer yang merupakan lagu rakyat Jawa Timur yang dipopulerkan seniman Lekra,” ungkap Asvi.
Lagu "Genjer-Genjer" merupakan lagu rakyat Banyuwangi. Lagu tersebut begitu tersohor pada tahun 1962 karena berisi cerita tentang kehidupan penderitaan kaum tani. Lagu "Genjer-Genjer" kemudian semakin tersohor ketika diberi notasi oleh M Arief dan dinyanyikan Bing Slamet juga Lilis Suryani.
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pengusung seni untuk rakyat, senantiasa gandrung akan seni tradisional, termasuk lagu-lagu daerah. Lekra kemudian melakukan arransemen ulang terhadap lagu-lagu daerah, seperti “Genjer-Genjer”, Glatik Nguknguk”, “Keroncong Kemayoran”, dan “Jali-Jali” disusun untuk paduan suara pimpinan Moh. Sutiyoso, diterbitkan oleh bagian kebudayaan CC PKI.
Lagu “Genjer-Genjer” diharamkan Orde Baru, menurut Hersri dalam Kamus Gestok, karena pada baris kedua bait awal syair lagu tersebut, semula berbunyi “neng kedhokan pating keleler (di petak sawah berhamparan)” diubah menjadi “esuk-esuk pating keleler (pagi-pagi berhamparan)” dianggap mengandung isyarat pembunuhan enam jenderal pada pagi 1 Oktober 1965.
Selama puluhan tahun di bawah rejim Orde Baru, bangsa Indonesia senantiasa dicekoki tontonan dan berita sepihak mengenai peristiwa pembantaian jendral di Lubang Buaya, 1 Oktober 1965, diiringi lagu “Genjer-Genjer” membuat masyarakat mengamini persitiwa tersebut.
Di era keterbukaan informasi, paling bijak bisa dilakukan masyarakat adalah melakukan verifikasi sejarah melalui beragam sumber-sumber sejarah agar tak sesat pikir. (*)
Sumber
Sekianlah artikel Fakta Di Balik Lagu "Genjer-Genjer" kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Fakta Di Balik Lagu "Genjer-Genjer"